Trilogi Jejak

Posted by Toko Buku Kupu-kupu Lucu on Thursday 24 March 2016

"Puisi-puisi dalam buku ini merangkum puisi sejak tahun 1988 (tahun pertama menulis) hingga tahun 2013. Maka dari itu, membaca puisi dalam buku ini sekaligus membaca rekam jejak kepenulisan sang penyair. Jika pembacaan saya tidak keliru, puisi dalam buku ini sudah merupakan puisi pilihan. Pembacaan saya itu semakin menguat ketika puisi dalam tiap tahun tidak berjumlah sama, ada yang sedikit, ada yang banyak. Namun jumlah puisi dalam satu tahun tidak bisa dipastikan, seperti halnya Goenawan Mohamad yang dalam satu tahun pernah menulis hanya tujuh puisi."
(Akhmad Fatoni, editor, penulis, dan penerbit buku fiksi-nonfiksi)

"Ikhtisar sejarah puisi Indonesia modern dari periode awal hingga perkembangan yang mutakhir, mencatat tiga tonggak estetika kepenyairan, yakni estetika Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, dan Afrizal Malna. Puisi-puisi yang terangkum dalam buku Trilogi Jejak ini, saya rasa merupakan perpanjangan tangan konsepsi estetis perpuisian Indonesia. Makna perpanjangan di sini ialah bahwa Marjiin intens masuk pada wilayah yang pernah digarap penyair sebelumnya, dalam hal ini estetika Chairil Anwar beserta rombongan penyair lain yang secara umum memiliki estetika sama--tentu dengan keunikan, pergeseran, dan perkembangannya sendiri."
(Mochammad Asrori, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto)

Trilogi Jejak || Kumpulan Puisi Marjiin || Beladjar Media || Rp35.000

More about Trilogi Jejak

Meja Nomor 8

Posted by Toko Buku Kupu-kupu Lucu

Costa selalu saja sepi, seperti kali ini dengan hanya satu, dua, tiga pengunjung saja. Selang beberapa detik suaranya yang pertama memecah keheningan di antara kami.
“Kamu tahu, kamu selalu saja cantik. Sebanyak apapun aku memandangmu rasanya sama saja.” Ia tersenyum, lalu diletakkannya cangkir kopi itu perlahan.
Diam-diam seorang waitress sepertinya mencuri dengar pembicaraan kami. Aku menghela napas panjang. Ia masih saja melanjutkan ucapannya.
“Apa kamu juga tahu seperti halnya saat yang lalu, aku masih saja terus mencintaimu.”
Aku terkesiap mendengarnya. Rasanya api amarah yang membara di hatiku seperti disiram air es. Bless. Sungguh, ingin rasanya aku beranjak dan menjatuhkan tubuhku di pelukannya. Namun, aku merasa tak pantas berada di dekapannya. Aku tak pantas menemani orang begitu baik, telaten, dan sesabar dia. Aku hanya seorang perempuan dengan emosi yang melepuh-lepuh. Perempuan yang selalu ingin menang sendiri. Dan aku tidak mungkin kembali dan menjinakkan emosiku yang semalam tumpah. Hari ini, aku ingin mengakhiri semuanya.
Beberapa menit kemudian pandangan tanya ditujukan padaku yang hendak beranjak pergi. Aku sudah tak bisa lagi bertahan lebih lama lagi. Dan ini jalan yang kupilih. Memilih untuk tidak dipilih.
Aku beranjak.
“Maaf aku harus pergi. Seseorang menunggu kedatanganku.” Aku mengatakannya tanpa sedikit pun menatap matanya. Aku tak ingin ia mengetahui kalau aku sedang berbohong. Berbohong sudah tidak mencintainya lagi.
Costa kembali senyap.
(Nukilan cerita Meja Nomor 8)

Meja Nomor 8 || Buku Cerpen Akhmad Fatoni || MNC Malang || Rp35.000

More about Meja Nomor 8